BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan human investment yang sangat strategis untuk mencetak generasi di
masa mendatang.Format pendidikan yang lebih baik sudah barang tentu menjadi
keharusan seperti saat ini.Masyarakat dengan berpengetahuan tinggi sudah
menjadi sebuah keniscayaan, tidak terkecuali pada masyarakat Islam.Dalam
catatatan sejarah, peradaban Islam sebenarnya telah menunjukkan betapa
pentingnya pendidikan yang komprehensif dan kondusif dalam rangka memajukan dan
meninggikan martabat manusia.Namun selama beberapa abad terakhir, peradaban
Islam seakan mengalami kemerosotan bahkan kemunduran akibat kurangnya
pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian
proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal,
mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai
seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah)
pada semesta. Pendidikan Islam bukan
sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negative
globalisasi atau modernisme. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai
moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas
dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.
Fomulasi
pendidikan dalam Islam sebenarnya sangatlah variatif.Di Indonesia misalnya, ada
banyak bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam.Sebut saja Pondok Pesantren,
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah, Perguruan Tinggi Islam dan
sebagainya.Dinamika sejumlah pendidikan yang dulu terkesan terbelakang itu kini
tengah mulai menunjukkan eksistensinya.Fenomena transformasi pendidikan Islam
itu kini semakin terbuka, inovatif dan modern dengan aneka wajah barunya yang
dinamis. Namun bukan berarti potensi problematika dan tantangan pendidikan
Islam ke depan sudah tidak ada dan tidak akan muncul kembali.
Sejarah
pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak sekian lama
dari zaman prakemerdekaan sampai sekarang.Oleh sebab itulah dalam perkembangan
penataan kebijakan dan pemberdayaan pendidikan Islam mesti tetap memerhatikan
dua aspek strategis.Yakni, pertama, aspek kontinuitas tujuan, subtansi dan
jatidiri pendidikan Islam.Kedua, aspek inovasi dan transformasi yang
memungkinkan pendidikan Islam memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif
dalam sistem pendidikan secara umum di Indonesia.
Dalam
rangka memahami posisi pendidikan Islam di tengah-tengah semangat reformasi
pendidikan nasional, tentunya perlu untuk melihat makna dan peran pendidikan
Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Begitupula guna mencari paradigm
baru pendidikan Islam seyogyanya diawali dari eksistensi pendidikan Islam dalam
sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara.Baik pada masa lalu, masa kini dan
hingga masa mendatang.Karena itu, dalam menggali nilai-nilai luhur yang ada
pada pendidikan Islam harus dengan jujur dan tepat dalam menentukan posisi,
fungsi dan peran pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Makalah
ini mencoba memberikan potret atau gambaran utuh dinamika dunia pendidikan
Islam kontemporer. mulai madrasah,
pesantren, diniyah hingga perguruan tinggi Islam, disertasi analitis dari sudut pandang tidak
hanya kaitannya dengan masalah pendidikan nasional, namun lebih dari itu juga
faktor sosial, politik dan budaya di Indonesia dijadikan sebagai bahan acuan
dalam memandang dunia pendidikan Islam dewasa ini.
Mengingat
jalan panjang pendidikan umum dan Islam di Indonesia guna mencapai kemajuan
seperti yang kian terasa saat ini tidaklah mudah.Setelah melewati masa
marjinalisasi dan keterbelakangan yang panjang, pendidikan Islam terus
berjibaku menstransformasi diri. Tepatnya setelah terjadi pergeseran mainstream
menuju pengarusutamaan pendidikan Islam (go to mainstreaming of Islamic
education).
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kondisi kontemporer dunia pendidikan Indonesia?
2.
Bagaimana
problematika pendidikan saat ini?
3.
Bagaimana
refleksi pendidikan kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Kontemporer Dunia Pendidikan
Indonesia
a.
Pendidikan Umum
Berbicara
masalah pendidikan di Indonesia adalah membahas hal yang sangat luas, dinamis,
fluktuatif dan relatif.Oleh karena itu, kita hanya bisa mengatakan bahwa
pendidikan di Indonesia ‘gagal’ secara kategoris. Sebenarnya pendidikan
Indonesia telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional dan output yang
brilyan dan kompetitif dari masa ke masa. Kalau digeneralisasi bahwa dunia
pendidikan kita sudah gagal, maka Republik ini sudah lama bubar. Salah satu
contoh keberhasilan pendidikan kita misalnya adalah menjamurnya sekolah-sekolah
yang ‘berprestasi’ khususnya pada jenjang Sekolah Menengah yang dalam periode
1996-1997 sering dikenal sebagai SMU (sekarang kembali ke istilah Sekolah
Menengah Atas atau SMA) ‘unggulan’ atau SMU ‘plus’.
Dari
studi Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Depdiknas terhadap 12 SMU yang
dinilai berprestasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, prestasi
yang dicapai oleh sekolah berprestasi ini cukup melegakan. Indikator pertama,
NEM SMU berprestasi setiap tahunnya berada pada peringkat 1, 2, atau 3 di
tingkat propinsi lokasi sekolah bersangkutan. NEM terentang dari 47,99 sampai
64,27. Sekitar 81,2% rata-rata NEM siswa SLTP (sekarang kembali ke istilah
Sekolah Menengah Pertama atau SMP) yang diterima di SMU berprestasi adalah 6,5
keatas. Kedua, sebagian besar guru SMU berprestasi memiliki pendidikan S1,
hanya beberapa SMU yang memiliki beberapa guru jenjang S2, sarjana muda atau
D3, bahkan SMU. Ketiga, kebanyakan SMU berprestasi memiliki sarana dan prasarana
yang baik, yakni tanah yang cukup luas, tempat parkir, lapangan olah raga,
tempat bermain atau jenis kegiatan lainnya, ruang kelas, laboratorium,
perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, alat bantu pelajaran
Fisika, Biologi, Matematika serta berbagai peralatan elektronik seperti video,
TV, tape-recorder, sound system dalam lab bahasa, perangkat komputer sebagai
media belajar. Keempat, seluruh guru SMU berprestasi menyusun satuan pelajaran.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi: intra dan ekstra kurikuler.
Guru umumnya menyampaikan materi dengan metode yang bervariasi meliputi:
ceramah, tanya-jawab, diskusi, simulasi, resitasi, tugas membaca di
perpustakaan, praktikum di laboratorium, dan pemanfaatan media belajar lainnya.
b.Pendidikan
Islam
Pendidikan
adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup
secara efektif dan efisien. Sedangkan pendidikan Islam menurut para tokoh ialah
sebagai berikut : Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan pendidikan Islam
adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani
yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang
sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai
pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya
dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang
membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam
definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik
dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya
kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada
hukum-hukum islam.
c.
Isu-isuKontemporer Pendidikan di Indonesia
Isu-isu
kontemporer pendidikan di Indonesia saat ini banyak sekali.Isu-isu tersebut
berkembang begitu cepat dan pesat dengan adanya ICT sekarang ini. Kontemporer
artinya kekinian, modern atau sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama
saat ini. Jadi isu kontemporer pendidikan
menurut penulis adalah isu-isu terkait dunia pendidikan yang tidak
terikat lagi oleh aturan-aturan zaman dulu, dan berkembang sesuai zaman
sekarang. Salah satu isu kontemporer pendidikan di Indonesia yaitu
"Komersialisasi Pendidikan".
Harus
jujur diakui praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat
ini telah menjadi sebuah rahasia umum.Nampaknya gejala komodifikasi pendidikan
itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi, baik
itu swasta maupun negeri.Contohnya yang paling sederhana yaitu semakin mahalnya
biaya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi sekarang ini.Belum lagi besarnya
biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan.Bahkan di
kota-kota besar untuk sekedar masuk jenjang playgroup saja para orang tua harus
rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.
Adanya
praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan saat ini harus menjadi
perhatian serius Pemerintah.Hal ini menunjukkan pengelolaan pembiayaan
pendidikan yang ada saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan di dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.Dalam pasal 48 UU Sisdiknas
dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan
prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Prinsip
keadilan, artinya setiap warga negara berhak mendapatkan mutu dan pelayanan
pendidikan yang layak tanpa adanya diskriminasi.Prinsip efisiensi, artinya
adanya keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan pencapaian
prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip transparansi, artinya dalam
pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka kepada masyarakat tentang
sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip akuntabilitas publik, artinya
dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak perencanaan hingga dampak/produk
yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan pada publik.
Pada
akhirnya pengelolaan pembiayaan atau pendanaan pendidikan yang berpijak pada
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik merupakan
amanah konstitusi yang wajib kita laksanakan.Tentu untuk mewujudkan ini semua
perlu adanya dukungan dan pengawasan (controlling) dari berbagai pihak, baik
Pemerintah, stakeholder pendidikan dan seluruh komponen bangsa.
B. Problematika
Pendidikan
Pendidikan
Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga
hal.Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga
pendidikan Islam secara Eksplisit.Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi.Ketiga, Pendidikan Islam sebagai
nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.
Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul
di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor Internal
a.
Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu
memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human
dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab
memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.Tujuan pendidikan yang selama
ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan
tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi
pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam
konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi
mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia.
Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek
positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan
kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan.
Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar
lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya,
moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b.
Masalah Kurikulum
Kedudukan
kurikulum di sini dapat ditempatkan dalam guiding Intruction (arahan &
bimbingan) dan juga harus bisa menduduki peran sebagai alat anticipatory, yaitu
alat yang dapat meramalkan masa depan.
Sistem
sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter
yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”.
Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam
bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan.
Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen
yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot.
Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada
praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum
itu kelebihan muatan.Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan.Anak-anak
terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk
mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan
islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum
pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan
menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari
para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan
Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c.
Pendekatan atau Metode Pembelajaran
Peran
guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa atau mahasiswa.
Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi,
memberikan suntikan dan menggerakkan siswa atau mahasiswa melalui pola
pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang
tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam
arus perkembangan zaman.
Siswa
atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya,
berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu,
dikelas pun siswa atau mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap
mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga
sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d.
Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah
satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa orde
baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum
memadai.Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya
sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum
memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified,
underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.
e.
Biaya Pendidikan
Faktor
biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan
APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan,
pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009
sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2.
Faktor Eksternal
a.
Dichotomic
Masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa
aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara
antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama.Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan Islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antarahukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota
semua ilmu.
b. To
General Knowledge (pengetahuan umum)
Kelemahan
dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih
terlalu general atau sumum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian
masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang
membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat.Menurut Syed Hussein
Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar atau pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual.Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack of
Spirit of Inquiry
Persoalan
besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan Islam ialah
rendahnya semangat untuk melakukan penelitian atau penyelidikan. Syed Hussein
Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al
Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit”(semangat intelektual)
menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur
Tengah.
d.
Demokratisasi Pendidikan Islam
Demokrasi
berasal dari bahasa yunani, dari kata “demos” dan “cratos”, demos berarti
rakyat dan cratos berarti pemerintah. Amka demokrasi adalah pemerintahan di
tangan rakyat. Menurut Peter Salim, “Demokrasi adalah pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua
negara”. Sedangkan Zaki Badawi berpendapat bahwa demokrasi adalah menetapkan
dasar- dasar kebebasan dan persamaan terhadap
individu- individu yang tidak membedakan asal, jenis agama dan bahasa.
Menurut
Dede Rosyada, istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik,
yang bermakna kekuasaan berada di tangan rakyat, mekanisme berdemokrasi dalam
politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam lembaga pendidikan,
namun secara substansif demokrasi membawa semangat dalam pendidikan, baik dalam
perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi. Apabila dihubungkan dengan pendidikan
maka pengertiannya sebagai berikut: Vebrianto memberi pendapat pendidikan yang
demokrasi adalah pendidikan yang pendidikan yang memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap anak (peserta didik) mencapai tingkat pendidikan sekolah
yang setinggi –tinginya sesuai dengan kemampuannya.
Sugarda
Purbakawatja, memberikan definisi bahwa demokrasi pendidikan, adalah pengajaran
pendidikan yang semua anggota masyarakat mendapatkan pendidikan dan pengajaran
yang adil.Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa demokrasi
pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan persamaan kewajiban dan
hak dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses
pendidikan.
Prinsip
demokrasi pendidikan islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam islam, atau
dengan kata lain demokrasi pendidikan islam merupakan implementasi prinsip –
prinsip demokrasi islam terhadap pendidikan islam.
Demokratisasi
merupakan isu sentral yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam di
Indonesia. Inti demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan.Tanpa demokrasi, kreatifitas manusia tidak mungkin berkembang.
Baik
secara normative maupun empiris, Islam bukanlah anti demokrasi.Secara normative
Islam memang tidak menjelaskan bagaimana bentuk demokrasi yang dianut, namun
ajaran Islam mengandung prinsip dan kaidah yang merupakan kata kunci isu
demokrasi.Diantara kaidah demokrasi dimaksud adalah : Pertama, kaidah ta’aruf
(saling mengenal), bahwa demokrasi terkait dengan interaksi sesame manusi, dan
dalam keterkaitan itu terdapat saling memahami atau mengenal (ta’aruf). Kedua,
kaidah syura (musyawarah). Ketiga, kaidah ta’awun (kerja sama). Keempat,
maslahah atau menguntungkan masyarakat.Kelima, kaidah ‘adalah atau
keadilan.Keenam, kaidah tagyir atau perubahan.bahwa demokrasi adalah bersumber
dari rakyat, sementara rakyat itu sendiri berkembang, berbeda, juga berubah.
Metode
pendidikan dan pengajaran Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip-prinsip
kebebasan dan demokrasi.Bila seseorang memiliki keinginan untuk belajar dan
rasa cinta ilmu, kegairahan untuk mengadakan penelitian dan pembahasan, pintu
untuk belajar terbuka luas, bahkan Islam mendorong supaya mereka belajar,
apalagi bla seseorang itu berpembawaan cerdas.
Islam
menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang sama dalam belajar,
sehingga terbukalah kesadaran untuk beljar bagi semua orang, tanpa adanya
peerbedaan antara si kaya dan si miskin dan status sosial ekonomi seorang
peserta didik, serta tidak pula gender.
e.
Certificate Oriented
Pola
yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama
encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan
dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan
kecenderungan adanya pergeseran dariknowledge oriented menuju certificate
oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan
sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati
prioritas berikutnya.
C. Refleksi
Pendidikan Kontemporer
Pengumuman
hasil ujian nasional (Unas) Tingkat sekolah lanjutan pertama (SLTP) di
Kabupaten jember dilakukan secara serentak.Sebanyak 884 orang siswa dinyatakan
tidak lulus. Banyaknya angka ketidak lulusan pada siswa SLTP kabupaten jember
merupakan salah satu contoh dari banyaknya siswa SLTP yag tidak lulus di daerah
lain yang ada di Indonesia
1.
Introspeksi
Adanya
kebijakan pemerintah dalam melakukan standarisasi Ujian Nasional pada tingkat
SLTP merupakan salah satu hal yang harus kita introspeksi, ada dua perspektif
yang menjadikan kebijakan seperti ini menjadi sebuah dilema, pertama ketidak
siapan masyarakat terhadap standarisasi system pendidikan yang sudah menjadi
kebijakan pemerintah saat ini, ketidak siapan ini dibuktikan dengan banyaknya
angka siswa SLTP yang tidak lulus dalam ujian nasional, banyaknya kecurangan
dengan adanya modus pembocoran soal ujian dan masih banyak lagi hal-hal yang
membuktikan bahwa bangsa ini memang belum seluruhnya mampu menerima
standarisasi Ujian nasional, kedua dengan adanya standarisasi, pemerintah
berupaya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, sehingga bisa kita lihat
adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkn nilai standar kelulusan setiap
tahunya, adanya penyamaan soal ujian yang di tuangkan dalam bentuk
standariasasi Ujian nasioanal, hal itu semua merupakan langkah pemerintah untuk
menstimulus generasi bengsa ini untuk lebih giat dalam proses belajar. Dari dua
perspektif tadi dapat kita simpulkan bahwa ketidak siapan siswa dalam
menghadapi “niat baik pemerintah” tersebut akan menjadi boomerang bagi
perkembangan system pendidikan bangsa ini. Sehingga perlu kiranya kita evaluasi
lagi mengenai kebijakan standarisasi tadi apakah sudah relevan dengan kondisi
obyektif semua siswa, apakah setiap institusi sekolah sudah mempunyai
infarastruktur yang sama pada tiap-tiap sekolahan, sudah siap belum para siswa
menerima kebijakan seperti itu.
Sehingga
menjadi suatu hal yang cukup tragis ketika kita melihat banyaknya siswa yang
tidak lulus, seperti halnya yang terjadi di kabupaten jember ini, siswa
terjebak oleh system yang terlalu memperkosa intelektualitas mereka, ketidak
mampuan mereka menjawab soal ujian merupakan kesalahan pemerintah dalam
memetakan soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan kemampuan masing-masing
sekolah didaerah, hal ini di karenakan kemampuan dari masing-masing sekolahan
pada setiap kabupaten/kota dan desa tidak sama, infrastruktur yang mendukung
proses belajar mengajar pun setiap sekolah mempunyai perbedaan. Cukup rasional
jika banyak siswa-siswa SLTP dipedesaan yang sekolahnya hanya memiliki ruangan
yang minim, staf pengajar Cuma satu, alat-alat pendukung lainya tidak ada,
tidak mampu menjawab soal-soal yang semestinya di tempatkan pada
sekolah-sekolah tingkat SLTP “level tinggi” yaitu sekolah yang sudah mempunyai
kelengkapan dan kemapanan infrastruktur dalam proses belajar mengajar, sekolah
semacam ini paling sering kita jumpai di wilayah perkotaan.
Jelas bahwa ketika adanya
perbedaan seperti ini, maka sekolah-sekolah yang ada di pedesaan akan menjadi
tumbal dari system, sekolah-sekolah yang minim infrastruktur belajar mengajar
akan mati karena ketidak mampuan mereka dalam menghadapi standarisasi tersebut,
sehingga kerap terjadi adanya pembocoran soal akibat ketidak mampuan siswa
dalam menghadapi soal ujian yang sentralistis tersebut, dengan demikian besar
kemungkinan akan terjadi pembocoran soal ujian berjamaah oleh sekolah-sekolah
yang merasa tidak mampu dengan soal-soal yang di berikan pemerintah untuk
ujian, disinilah pembodohan kolektif terjadi, pembodohan yang dilakukan karena
jebakan system pendidikan yang kurang proporsional
Adanya
perbedaan taraf kemampuan pada sekolah di daerah pedesaan dan di daerah
perkotaan merupakan masalah yang cukup esensial, sehingga pemerintah dapat
mempertimbangkan dampak dari kebijakanya menaikan nilai kelulusan bagi siswa di
pedesaan, soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan kemampuan setiap daerah dan
kebijakan seperti meningkatkan nilai standart kelulusan tersebut pada tiap
tahunya merupakan ancaman bagi sekolah yang minim infrastruktur dalam proses
belajar mengajar, sehingga kebijakan seperti bukanlah bukanlah solusi cemerlang
untuk mengatasi ketimpangan setiap sekolah, saat ini yang dibutuhkan adalah
proses bagaimana siswa itu dapat meningkatkan kualitas Sumber daya manusianya
tanpa menjadikan mereka sebagi tumbal sebuah system. Kebijakan tersebut akan
cukup efektif den efisien ketika pemerintah menyamaratakan infrastruktur
kegiatan belajar mengajar pada setiap sekolah, tidak ada lagi eksklusifitas
tetapi inklusifitas, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan
sehingga tidak ada lagi kesenjangan pada setiap sekolah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendidikan kontemporer harus
menyesuaikan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi.Untuk itu yang perlu
dilakukan adalah mengembangkan sistem pendidikan yang berwawasan global agar
menghasilkan out put (lulusan) dari lembaga pendidikan yang lebih bermutu,
supaya mereka percaya diri dalam menghadapi persaingan global, dan
mengedepankan metode interdisipliner, interkonektifitas.Paradigma baru yang
menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia
(ilmu-ilmu holistik integralistik). Atau dengan kata lain pendidikan yang
menjadikan satu antara fisi, konsep dan tujuan.
Struktur
keilmuan tersebut adalah mempertemukan kembali antara ilmu-ilmu Agama (religius
sciences) dengan ilmu-ilmu umum (modern sciences). Saling terkait (interconnected entities).
yang akan mengsinerjikan disiplin ilmu tersebut agar mampu berjalan bersama,
supaya mampu diterapkan sesuai konsep pendidikan ideal yang akan menghasilkan
progres dalam dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasmiyati
Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press
Group, 2008.
H.A.R.
Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: PT.
Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1997.
Isma’il
SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Semarang : Rasail, 2008.
Musthofa
Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II.
Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
http://
nanogummy.wordpress.com/2013/015/25/demokrasi-pendidikan-dalam-islam/
Abdul
Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008),
Cet. I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar