BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
link and match
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia
pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman
perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan
perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan
Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match
antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan
antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya
hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai
dengan kebutuhan kerja.Contoh nyata link and
match dengan adanya program magang akan mendatangkan manfaat bagi yang
melakukannya, karena akan ada perbaikan jika melakukan kesalahan dan dapat
bermanfaat di dunia kerja nyatanya kelak.
Terdapat 3 komponen yang harus
bergerak untuk mensukseskan link and match yaitu:
1.
Perguruan tinggi
Peran perguruan tinggi merupakan
keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan
tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut. Ada
beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk
menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset
ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompetensi (keahlian) apa
yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja.
2.
Dunia kerja (perusahaan)
keahlian (kompetensi) yang paling
banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer),
berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi.
3.
Pemerintah
Pemerintah juga diuntungkan dengan
berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogyanya pemerintah secara serius
menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi
ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin
baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak. Pemerintah juga harus
serius dan tidak memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan)
sebagai proyek belaka.
B.
Pendekatan dalam Mewujudkan Link and
Match
1.
Pendekatan Sosial
Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat
ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W.
Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan
pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan
kepada murid dan orang tua secara bebas.
Selanjutnya
dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan ini mengabaikan masalah
alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya
sumber daya pendidikan yang dibutuhkan karena beranggapan bahwa penggunaan
sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2) Pendekatan ini mengabaikan kebutuhan ketenagakerjaan (man
power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan
lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3) Pendekatan ini cenderung hanya
menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari
pada kualitasnya
(Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan
yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat
tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar
jika timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga
terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode
pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan
lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan
harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan
pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan
penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan. Di dalam
pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegiatan pendidikan diarahkan kepada
usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan
pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan
dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam
keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan
menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor
pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk
itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas
tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat meyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang terlatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau rasio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat meyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang terlatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau rasio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan
ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah
berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu
diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan
teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk
berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan
tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasional. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasional. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam
pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau
yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem
pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai
keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam
perencanaan ekonomi. Jadi, dalam merencanakan keperluan tenaga kerja, perkembangan
ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap
sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagai prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semata-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagai prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semata-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem pendidikan.
Cara
pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapat dikatakan sebagai pendekatan ekonomi
uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujukan kepada pasaran kerja,
dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran
konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Dalam
teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sistem
pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini
juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu:
a. Mempunyai peranan yang terbatas
dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan
sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini
lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
b. Menggunakan klasifikasi rasio
permintaan dan persediaan
c. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah
untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai
dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug
dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat
ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu
kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan
dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapangan
kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka
lapangan kerja yang baru.
Perbaikan
sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan
atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai
ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta
mampu mengaplikasikan ilmunya, maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan pada
pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan
pendidikan di Indonesia selain menggunakan pendekatan sosial juga
menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadari dengan benar bahwa tanpa
tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak
mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam
kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan
pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di
negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain
sebagai berikut:
a. Belum tersedianya data dan informasi
yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan berapa banyak
lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut
pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja
ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan
dan sebagainya.
b. Perencanaan pendidikan, bila ingin
menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan proyeksi
kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan
tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga
yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi lulusan lembaga
pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya data dan
informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun hambatan itu
akan tetap ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui
pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan
nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan
keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah
tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk
mempersiapkan lulusan yang siap pakai memasuki
lapangan kerja yang sudah menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak
mendukung, tapi lebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi
baik, pengadaan alat dan ruang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta
fasilitas lainnya sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu,
kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan Putu Pendit bahwa "kurikulum harus memenuhi kebutuhan
lapangan". Kurikulum, sebagai bagian dari pendidikan, bukan semata-mata
memenuhi permintaan tenaga kerja di saat ini. Kurikulum sebagai alat dari
pendidikan harus mengandung di dalamnya upaya menyiapkan peserta didik dengan
pengetahuan dan kemampuan yang berlaku jauh lebih lama daripada perkembangan
terakhir atau peristiwa sesaat.
C.
Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan
penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya
manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja,
semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan
bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena
pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa
pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari produktivitas individu. Jika setiap
individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi,
pertumbuhan masyarakat
dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan
formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari
teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi
pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis,
model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya,
asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal
ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata
menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara
berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil
terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan
dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak
berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya,
yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa struktur masyarakat lebih ampuh dari pada
individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal
hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang
status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal
tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah”
bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas,
masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang
diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam
kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu:
1) Dimensi kuantitatif yang meliputi
fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil
sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia.
2) Dimensi kualitatif yang menyangkut
fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi
sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan,
1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu
sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human
Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan
lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan.
Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan
suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis
keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
Teori Human Capital percaya bahwa
pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan
keterampilan tersebut juga sudah tersedia. Fungsi pendidikan sebagai penghasil
tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan
teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang
lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja
baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan
potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara
memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan
kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak
bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat
terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin
bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara
pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian,
hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu
ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai
gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah
dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai
dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga
dapat dianggap sebagai gejala permintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut
tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi
lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal.
Jika ketidaksesuaian antara keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri
dianggap sebagai demand phenomina, sistem pelatihan kerja juga harus
merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam
hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training
ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground,
produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan
dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat
menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem
pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial
atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia
kerja.
Sekat-sekat yang ada antara
pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini,
setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri
modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan
pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178).
Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi
sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program
pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada
refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang
seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah
pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun
non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok
tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam
memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah
ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sistem ekonomi. Untuk menguji kemampuan
ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan
oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan
kerja yang ada menurut kategori tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan
tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya
lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat struktur tenaga kerja telah mulai
bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pula oleh kenyataan bahwa kelebihan
persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan
Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply
dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan
dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga
kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum
dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini
terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang.
Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan
pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya
lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas
kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data
pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin
tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran;
2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga
kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya
semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda
dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply
dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya,
karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi.
Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian
yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita. Menurut Darlaini Nasution SE ada
tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran
di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang
dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand
(permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan
yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan. Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan. Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya.
Para penganggur terselubung ini
adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita
berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan
maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter. ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapai sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter. ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapai sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di
Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang
mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan
mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari
persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang
sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak
yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Salah satu faktor
yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau
banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka
kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha
untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Justru orang-orang yang kurang
berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang
menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan.
Di negara-negara maju, pendidikkan
dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara
kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan
menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa,
dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak
memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta
cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu
pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang
cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan
bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para
tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran,
berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur
diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat
Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro
dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa
poin: Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari
kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi dalam dirinya namun
sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian,
diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan
dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi
dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan
kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan
serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar
di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di
masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki
berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara
nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab.
Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja
sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan
kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka
lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan
karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik
Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas
dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan
lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat
(sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya,
seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah,
misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan
non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik
dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat
didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan
produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan
lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga
antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara
profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja.
Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya
(brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen
dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau
bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki
lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat
membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke
luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga
pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan
tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu
dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di
Filipina. Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas
pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai
tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu
direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai
aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu. Kesembilan,
upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan
hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan
perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri
tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan
lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah
jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan
potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai
letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan
pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan
Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja
yang produktif dan remuneratif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Konsep Link and Match (keterkaitan
dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan denagn
dunia kerja, atau denagn kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara
pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka
pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu
lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain
khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di
perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja.
Dengan adanya Link and Match tersebut
Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompetensi (keahlian) apa yang paling
dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia
kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan
mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan
teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus
menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia
menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan
magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya
siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan
untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan sosial dan pendekatan ketenagakerjaan.
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan
masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan
pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan
pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga
dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta
memungkinkan pemberian kesempatan kepada murid dan orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan
pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan
tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan
yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan
memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat
diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap sebagai
penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan
dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin
tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu
pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Cammings,
Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas.
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas.
Indar,
Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Aditama.
Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Limongan, Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata
(ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar