BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia
membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan
tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme
Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan
mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan
keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru
melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek
kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru
menerapkan sistem sentralisasi (centralized
system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam
pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan,
kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga
anggaran pendidikan. Alhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak
memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di
lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia
pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini
menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era
Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era
ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah
pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada
pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa depan
anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini, pada mulanya
disambut dengan antusias, karena di samping sebagai bukti nyata keseriusan
pemerintah pasca orde baru untuk mengelola negara secara bersama-sama dengan
cara berbagi kewenangan, juga dipandang memberikan peluang para pemangku
otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi
sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dinas pendidikan daerah, yang dulu
merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk
mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya.
Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki
otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di
sekolah-sekolah mereka.
Namun demikian, belakangan muncul rasa
skeptis atas keberhasilan pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi
ini. Berbagai persoalan muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar
kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya. Bahkan
Kepala Balitbang Kemendikbud mengemukakan bahwa “pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah
berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan,
yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan
pendidikan.”[1]
Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi
pendidikan membawa sejumlah masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan
bersama. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan
yang dijumpai dengan diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian akhir akan
disampaikan beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan lebih lanjut.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian di atas kami
dapat menyederhanakan dalam bentuk pertanyaan- pertanyaan yang menjelaskan isi
dari pembahasan makalah ini
1.
Apa yang di
maksud dengan otonomi daerah?
2.
Apa manfaat
dari otonomi daerah?
3.
Bagaimana
dampak negative dan positif dari otonomi daerah?
4.
Apa saja Masalah
Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui apa itu otonimi daerah
2. Dapat mengetahui apa saja manfaat dari otonomi
daerah
3. Dapat melihat dampak negative dan positif dari
otonomi daerah
4. Dapat mengetahui masalah mutu pendidikan era
otonomi daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Otonomi Pendidikan
Desentralisasi bidang pendidikan, yang
lazim juga disebut sebagai otonomi pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan
yang diambil tanpa landasan. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa
desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
Pertama adalah alasan psikologis.
Seperti disebutkan di muka, kebijakan sentralisasi pendidikan yang dilakukan
oleh Pemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan
kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun
hampir tidak memiliki otoritas terhadap lembaga-lembaga pendidikan di wilayah
mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi
menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berakhir. Sistem pendidikan yang
sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para
guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan
pelajaran dibuat secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem
tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan
otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena
mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Meski tidak banyak muncul di permukaan
ketika orde baru berkuasa, namun hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi
keprihatinan banyak praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa
meskipun sentralisasi pendidikan dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk
menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi kontra produktif, terutama
karena penyeragaman.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan
euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian
(besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas
daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun
semakin terbuka.
Kedua adalah alasan politis. Ini
berkaitan erat dengan alasan psikologis di atas. Salah satu aspek politik
adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam
pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah
tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya
kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor
departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari
struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan
pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah
dan guru merupakan kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk
pendelegasian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang
pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki
kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di
sini lebih merupakan implikasi dari ketentuan yang telah ditetapkan. Karena
alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde
Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan
yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan
kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian
diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan
UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
Beberapa Undang-Undang di atas merupakan
landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah
daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa
pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah
masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang
secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih
lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan
sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa
otonomi daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata
keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan
dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang
menjadi dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas
yang mengakomodasi berbagai tuntutan di atas.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan
otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah
dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan
pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi
memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota.
Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan
yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari
pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah
daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan
tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum
berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan
kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada
peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud
antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah
pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari
berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut.
Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri
kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan
kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan
daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran
yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
B. Manfaat Otonomi
Pendidikan
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang
pendidikan memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti
pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi
lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai
kebijakan pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan dengan
institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan
dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan
tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga
pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Ada berbagai dampak positif dari
diberlakukannya otonomi daerah dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak
positif ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam
hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan
dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap
jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur
dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian
otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi
di antara para pemegang otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan
keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan
otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah,
pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan
lokal.
1.
Kemandirian
Dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk mengelola urusan
pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan
pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah
pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang
dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi
keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru
yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional
diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan
kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar
mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.
Tantangan yang besar buat pemerintah daerah,
terutama di masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah
meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal pengelolaan
pendidikan. Kapasitas dimaksud di
sini adalah kemampuan mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar.
Otoritas pendidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap
berbagai aspek pengelolaan pendidikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan
SDM, dan hubungan dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kreativitas yang perlu dimiliki oleh
otoritas pendidikan daerah ialah berkaitan bagaimana pengelolaan pendidikan
terus berinovasi untuk membuat proses pendidikan lebih mudah diakses, lebih
memberikan motivasi bagi siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di
sini, para pemangku otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan
imaginasi penyelenggaran pendidikan yang accessible,
menyenangkan dan berkualitas. Sensitivitas
diperlukan untuk mampu melihat kebutuhan dan persoalan pendidikan daerah
setempat, sehingga mampu memberikan layanan pendidikan yang benar-benar
membumi.
Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam
pengelolaan pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar yang
diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu meningkatkan
kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan yang lebih besar ini
adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Otoritas yang besar haruslah
dimanfaatkan secara positif untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas
pendidikan, bukan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah
daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendidikan yang
akuntabel.[2]
Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan dan
pertanggung-jawaban.
2.
Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam
hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika
pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi
penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan.
Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang
bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi
pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi
sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.
Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang
memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga
pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah
lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah
merupakan faktor penting bagi pendidikan karakter siswa.
Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan,
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan
pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana
melahirkan kepemimpinan baru.[3]
Meskipun banyak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang
seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang
besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di samping itu,
daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan yang dimilikinya, karena semua tenaga pendidik dan kependidikan
yang semua menjadi bagian departemen pendidikan diserahkan kepada daerah
masing-masing. Hal ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah
memiliki kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain.
Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk
memprioritaskan pengembangan SDM ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan
dari daerah lain.
Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal
(local wisdom) dengan berbagai bentuk
dan variasinya. Otonomi daerah di bidang pendidikan memberikan kesempatan bagi
para pemangku otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut,
melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum
dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan antar pemeluk
agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan yang sudah
berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya menjadi bagian dari
pendidikan di sekolah, sehingga nilai-nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh
pengaruh dari luar yang mungkin menguatkan keberagamaan seseorang tetapi
melunturkan nilai-nilai kebersamaan.
3.
Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah
daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan
pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan
konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki
tujuan[4]
yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun
tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan
dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara
lain disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa
lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai
persoalan pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan
yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga
pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana,
pengembangan SDM, materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas
pendidikan daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada
gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.
C. Dampak Negatif Otonomi
Pendidikan
Di
samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan
sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya
persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah
beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.
1.
Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM
pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi
menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk
mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan
mengecilnya peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari
satu daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai
daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di
kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai
daerah yang relatif homogen secara
etnis.
Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar
kepada para putra daerah untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika terjadi
lokalisasi SDM secara besar-besaran. Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk
berinteraksi dengan orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjadi sangat
sedikit. Kehadiran guru-guru dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah
akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah air,
sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-satunya etnis yang ada
di tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga
pendidik untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di
satu daerah terhadap tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia
yang dimiliki sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga
pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya
guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu
tersebut.
M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan
penting dalam hal SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak
bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak
kompeten.[5]
2.
Ketidak siapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang
memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah
yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan
untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan
kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang
memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan
sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian
kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi
atau kelompoknya.
Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak
berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara
substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu
dibuktikan secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi
ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal
pengelolaan pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah mengelola
penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di samping itu, ketidaksiapan juga
dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah.
Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang
sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan
sarana pendidikan yang memadai.
Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi
belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau
kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas, sarana dan
parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih
baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil
pendidikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang
memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum
lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar
ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatkan
kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara desentralistik.
3.
Berorientasi Nilai dan kelulusan
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir
kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional
pendidikan[6]
dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya
delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari
kesenjangan kualitaspendidikan, yaitustandarisi,standar
proses,standarkompetensilulusan,standarpendidikdantenagakependidikan,standarsaranadanprasarana,standarpengelolaan,standarpembiayaan,
danstandarpenilaianpendidikan.[7]
Di samping penetapan dan pemberlakuan
berbagai standar pendidikan di atas, ujian nasional merupakan salah satu
perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan
menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus
mengikuti ujian akhir, dan harus mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan
untuk dianggap lulus. Diharapkan pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu
para pengemban otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas
pendidikan di daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah
lain. Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di
sinilah persoalan besar mulai mengintai.
Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat
standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah
yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan
siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas nilai minimum nasional.
Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika
penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada
penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang
kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar
minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN
100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh
kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan
kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya.
Banyak kepala sekolah yang menyadari
keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi
mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari
lembaga-lembaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang halal
hingga yang haram pun dilakukan. Contoh upaya halal yang menganggu proses
pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah
jam pelajaran non-UN. Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses
ujian nasional adalah pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan
melakukan kerjasama dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden untuk
membiarkan terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian
nasional.
Orientasi nilai ujian nasional yang
menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan
pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan
terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.
4.
Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia
pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu
narasi besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar
nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat
pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga mewarnai
berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Karena itu,
tidak heran jika ada kurikulum resmi yang berorientasi pada nasionalisme dan
patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pada
nasionalisme dan patriotisme.
Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi
sebuah narasi besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan
bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga non
kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai Pancasila.
Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa, pendidikan Pancasila telah menjadi
wabah di seluruh Indonesia dan menjadi narasi besar pendidikan nasional.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi
besarnya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk
diperjuangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil
Postman dalam karya provokatifnya “The End of Education.” Menurut Postman,
pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama,
kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama.[8]
Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks
negara, menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika
kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan
kelompok-kelompok orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya
masing-masing.
Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan
dewasa ini, dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka
tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi
pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih
memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan
kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan
kepentingan bersama dalam pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita
seperti kehilangan nilai-nilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya
dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan
berprestasi.
Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan
saat ini. Di antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan
karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan
menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal pendidikan. Namun demikian keduanya
masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama
dalam pendidikan.
D.
Masalah Mutu Pendidikan
Di Era Otonomi Daerah
Perbincangan
mengenai pendidikan tidak pernah berhenti, apalagi berbicara mengenai mutu
pendidikan di tanah air kita ini, baik daerah, Nasional bahkan telah banyak
diperbincangkan oleh masyarakat kita. Semua menjadari bahwa mutu pendidikan di
negara Indonesia, masih sangat jauh dari yang diharapkan. Tentunya kita boleh
hanya memperbincangkan kekurangannya saja tetapi yang tak kalah penting adalah
memberikan solusi.
Berbagai
regulasi aturan dibuat oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan
di sekolah, mulai dari penetapan alokasi anggaran minimal 20 % dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
melalui pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem Pendidikan
Nasional, Peraturan Pemerintan No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional. Standar Nasional yang menjadi norma acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional yang mencakup standar; isi, proses, kompetensi lulusan, standar
sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian.
Bicara
mengenai mutu pendidikan di era otonomi daerah banyak faktor yang sangat
mempengaruhi, tapi paling tidak ada tiga faktor besar, yaitu:
1.
Guru kurang Profesional
Seorang pengamat pendidikan dari Jepang bernama Dr.
Saito menyatakan bahwa persoalan utama dari rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia disebabkan oleh sedikitnya kesempatan guru untuk belajar. Keadaan ini
berimplikasi luas terhadap keberadaan guru dalam melaksanakan tugasnya, mulai
dari persoalan penguasaan materi yang relative rendah, persiapan mengajar yang
asal-asalan, penanaman konsep yang lemah pada saat mengajar, sampai pada
persoalan penilaian yang tidak tuntas.
Ditambah lagi keadaan guru-guru yang mengalami
kesulitan mengembangkan materi pelajaran yang disebabkan oleh kurangnya guru
melakukan riset atau pembuktian terbalik ketiga mau mengajarkan suatu materi.
Guru terlalu gampang untuk masuk dikelas, walaupun pemahaman guru tersebut
terhadap materi yang mau diajarkan belum dipahami secara tuntas.
Demikian pula, yang berhubungan dengan persiapan
merencanakan kegiatan pembelajaran yang belum dipersiapkan secara baik sampai
pada penilaiannya yang baik pula ditambah dengan lemahnya motivasi guru
melalukan riset atau pembuktian terbalik sebelum mengajarkan satu materi, guru
pada umumnya terlalu sering masuk kelas tanpa merencanakan konsep pembelajaran
yang bagus, dst. Penomena yang ada di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya,
banyak guru yang masih memprihatinkan keberadaannya sebagai guru , ini dapat
dilihat dari persoalan persiapan mengajarnya yang tidak dipersiapan sebagaimana
tuntutan kaidah yang diatur dalam standar proses ( Permen 41 tahun 2007).
Mereka memiliki Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) namun masih
copy paste teman guru lainnya, seyogianya disusun sendiri sesuai kondisi nyata
disekolah atau setidaknya diadopsi dari guru lain namun disesuaikan dengan
kondisi murid dan sekolahnya, Kondisi lain adalah guru tidak mempersiapkan
bahan ajar serta penialainnya yang memadai sebagaimana diamanatkan dalam
permendiknas nomor 20 tahun 2007. Ini dilihat dari persoalan persiapan
mengajar, belum dilihat dari caranya mengajar sampai bagaimana kehadirannya di sekolah.
Jadi memperhatikan aturan-aturan yang ada di atas,
maka perlu diadakan sosialisasi secara lebih luas dan mebuatkan aturan yang
lebih kongkrit di daerah agar, keberadaan guru betul menuju pada tugas dan
fungsi yang membuat mutu pendidikan di sekolah.
2.
Regulasi penempatan
pejabat birokrasi di lingkungan Pendidikan di daerah.
pada umumnya menempatkan mereka berdasarkan
persoalan suka tidak suka. Yang banyak menjadi penentukan berhubungan dengan
konstribusi pada saat menghadapi pilkada. Siapa yang berjasa dalam pemenangan,
maka mereka itulah yang diberi kesemptan mendapatkan jabatan dan sebaliknya
siapa yang berada pada tim kalah, mereka akan jadi pecundang dan bahkan harus
relah kehilangan jabatan, atau tiba-tiba dijadikan guru biasa, dan tidak kalah
gentingnya dibeberapa daerah ditemukan kepala sekolah yang menurut aturan 60
tahun usia pensiunnya dimutasi ke jabatan struktur yang masa kerjanya hanya
sampai dengan 56 tahun langung memasuki usia Masa Percobaan Pensiun. Regulasi
yang berhubungan dengan pengembangan jabatan profesional guru, kepala sekolah
dan pengawas sekolah sudah sangat jelas namun persoalan kemudian hampir semua
diabaikan oleh pemegang kendali kekuasaan di daerah. Karena itu, perlu
dicarikan jalan penyelesaiannya, agar semua kembali kejalan yang benar
berdasarkan aturan yang ada, agar mutu pendidikan pada suatu saat dapat menjadi
spirit dalam membangun negara yang kita cintai ini. Marilah kita berguru dan
belajar pada negara-negara yang sudah maju, bahwa tidak banyak negara di dunia
yang bias mempertahakan kemajuan bangsanya tanpa dibangun melalui pengembangan
sumber daya manusia (SDM)
3.
Penghargaan bagi siswa
berprestasi.
Berhubungan
dengan rendahnya motivasi belajar mereka, maka secara spontan tidak sedikit
memberi jawaban bahwa di Indonesia, orang pintar di sekolah tidak ada jaminan
mendapatkan pekerjaan yang baik pada saat masuk usia kerja. Banyak orang pada
usia sekolah sangat santai justru beruntung mendapat pekerjaan yang bagus
dengan penghasilan tinggi. Siswa berprestasi di bangku sekolah SD pada saat
ingin masuk di SMP berstandar, belum tentu diterima, selanjutnya alumni
berprestasi di SMP berstandar atau alumni SMA berstandar di terima di Perguruan
Tinggi ternama, dan alumni pada perguruan tinggi ternama dengan prestasi
cemerlang otomatis mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan penghasilan besar.
Mengapa demikian, jawabannya jelas bahwa di
Indonesia satu kata tidak ada yang “jelas diatas ketidak jelasan “. Tentu saja
kejadian tersebut sungguh memilukan dan memalukan, apalagi bila dihubungkan
dengan keinginan untuk menata dan memperbaiki mutu pendidikan di republik ini.
Sungguh ironis memang tapi itulah yang terjadi. Kemana kita mengharap dan pada
siapa kita harus mengeluh. Padahal Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang 43 Tahun
1999, telah menetapkan beberapa perubahan dalam manajemen PNS. Perubahan
tersebut membawa konsekuensi bahwa setiap organisasi pemerintah baik pusat
maupun daerah harus memiliki Sumber Daya Manusia PNS yang memenuhi persyaratan
baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat melaksanakan tugas dan
fungsinya secara professional.
Rekrutmen sebagai suatu proses pengumpulan calon
pemegang jabatan yang sesuai dengan rencana sumber daya manusia untuk menduduki
suatu jabatan tertentu dalam fungsi pemekerjaan (employee function) SDM-PNS
selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang
Pengadaan PNS sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan
PNS Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Meskipun sistem rekrutmen telah
diatur dalam peraturan pemerintah sebagai upaya untuk menjaring SDM-PNS yang
kompeten, namun dalam implementasinya belum memenuhi kebutuhan yang dapat
menunjang keberhasilan kinerja dan profesionalitas SDM-PNS. Kondisi SDM-PNS
seperti antara lain perencanaan kepegawaian saat ini belum didasarkan pada
kebutuhan nyata sesuai dengan kebutuhan organisasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbagai persoalan dan pemikiran di atas
menunjukkan bahwa pendidikan nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang
luar biasa besar. Dinamika ini terjadi karena sebagai negara, Indonesia sedang
dalam proses transisi panjang menjadi negara demokrasi. Otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian dari proses transisi tersebut,
sehingga tidak mengherankan apabila banyak dijumpai kejanggalan atau anomali
dan ketidakpuasan atas apa yang sedang terjadi.
B.
Saran
Kunci keberhasilan pendidikan nasional
adalah penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan. Oleh karenanya
lembaga-lembaga pendidikan harus benar-benar disiapkan menjadi lembaga lembaga
yang beorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas pribadi siswa, tidak hanya
mengembangkan intelektualitas dan berpaku pada formalitas. Untuk itu, Mochtar
Buchory pernah mengemukakan, bahwa dunia pendidikan kita tidak sekedar memerlukan
reformasi seperti yang terjadi di bidang politik dan ekonomi, tetapi ia
memerlukan transformasi guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan
berkarakter.[9]
Oleh karenanya, lanjut Buchory, guru harus dilepaskan dari beban politik dan
kepentingan sepihak birokrasi, guru harus diberikan keleluasaan untuk mendidik
karakter siswa.[10]
Buchory, Mochtar (2001), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta:
Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
Buhory, M. H. (2007) ‘Akuntabilitas
Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri
Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
‘Kemdikbud kaji ulang
konsep otonomi pendidikan’Kompas Online edisi
29 Nopember 2011 http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikandiakses
tanggal 28 September 2015.
Hidayat, M. (2011) ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi
Daerah’, makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
Nata, Abuddin (2004), ‘Menggagas
sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal
Didaktika Islamika (UIN Jakarta),
Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Postman, Neil (1995), The
End of Education: Redefining
the value of school, New York: Alfred A
Knopf, 1995.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 tahun 2008
tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004.
[1]“Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi
pendidikan” diambil dari Kompas Online edisi 29 Nopember 2011. http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikan diakses tanggal 16 April 2011.
[2]Muhammad Hasanuddin Buhory, ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah
dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli
2007, hal. 115
[3] Abuddin Nata, ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam
kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal.
12.
[4] Menurut UU No. 20 tahun 2003, tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
[5] Lihat M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’,
makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
[6] Lihat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan yang dibuat berdasarkan amanat UU No. 20 tahun 2003.
[7] Untuk penjelasan lebih lanjut tentang berbagai standar tersebut,
lihat PP No. 19 tahun 2005.
[8] Neil Postman, The End of
Education: Redefining the value of
school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
[9] Mochtar Buchory, Pendidikan
Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
[10] Mochtar Buchory, Pendidikan
Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar