Translate

Senin, 30 November 2015

PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan,  kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Alhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini, pada mulanya disambut dengan antusias, karena di samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca orde baru untuk mengelola negara secara bersama-sama dengan cara berbagi kewenangan, juga dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah  mereka.
Namun demikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai persoalan muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya. Bahkan Kepala Balitbang Kemendikbud mengemukakan bahwa “pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan.”[1] Pernyataan tersebut secara tegas menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pendidikan membawa sejumlah masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan yang dijumpai dengan diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian akhir akan disampaikan beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan lebih lanjut.




B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas kami dapat menyederhanakan dalam bentuk pertanyaan- pertanyaan yang menjelaskan isi dari pembahasan makalah ini
1.      Apa yang di maksud dengan otonomi daerah?
2.      Apa manfaat dari otonomi daerah?
3.      Bagaimana dampak negative dan positif dari otonomi daerah?
4.      Apa saja Masalah Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah
C.    Tujuan
1.      Dapat mengetahui apa itu otonimi daerah
2.      Dapat mengetahui apa saja manfaat dari otonomi daerah
3.      Dapat melihat dampak negative dan positif dari otonomi daerah
4.      Dapat mengetahui masalah mutu pendidikan era otonomi daerah




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Otonomi Pendidikan
Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai otonomi pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa landasan. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
Pertama adalah alasan psikologis. Seperti disebutkan di muka, kebijakan sentralisasi pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah. Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap lembaga-lembaga pendidikan di wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Meski tidak banyak muncul di permukaan ketika orde baru berkuasa, namun hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak praktisi dan pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun sentralisasi pendidikan dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk menjada persatuan, namun dalam beberapa hal menjadi kontra produktif, terutama karena penyeragaman.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun semakin terbuka.
Kedua adalah alasan politis. Ini berkaitan erat dengan alasan psikologis di atas. Salah satu aspek politik adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di sini lebih merupakan implikasi dari ketentuan yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang mengakomodasi berbagai tuntutan di atas.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.

B.     Manfaat Otonomi Pendidikan
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan dengan institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi daerah dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.

1.      Kemandirian
Dengan pemberian otoritas  kepada daerah untuk mengelola urusan pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.
Tantangan yang besar buat pemerintah daerah, terutama di masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal pengelolaan pendidikan. Kapasitas dimaksud di sini adalah kemampuan mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas pendidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap berbagai aspek pengelolaan pendidikan dari keuangan, kurikulum, pengembangan SDM, dan hubungan dengan para pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kreativitas yang perlu dimiliki oleh otoritas pendidikan daerah ialah berkaitan bagaimana pengelolaan pendidikan terus berinovasi untuk membuat proses pendidikan lebih mudah diakses, lebih memberikan motivasi bagi siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di sini, para pemangku otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan imaginasi penyelenggaran pendidikan yang accessible, menyenangkan dan berkualitas. Sensitivitas diperlukan untuk mampu melihat kebutuhan dan persoalan pendidikan daerah setempat, sehingga mampu memberikan layanan pendidikan yang benar-benar membumi.
Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian kewenangan yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Otoritas yang besar haruslah dimanfaatkan secara positif untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan, bukan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel.[2] Akuntabilitas ini penting sebagai wujud keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggung-jawaban.
2.      Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.
Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor penting bagi pendidikan karakter siswa.
Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana melahirkan kepemimpinan baru.[3] Meskipun banyak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya. Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena semua tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi bagian departemen pendidikan diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah memiliki kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah yang lain. Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.
Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal (local wisdom) dengan berbagai bentuk dan variasinya. Otonomi daerah di bidang pendidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut, melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang belum dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan antar pemeluk agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek kerukunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat hendaknya menjadi bagian dari pendidikan di sekolah, sehingga nilai-nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh dari luar yang mungkin menguatkan keberagamaan seseorang tetapi melunturkan nilai-nilai kebersamaan.
3.      Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki tujuan[4] yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.

C.    Dampak Negatif Otonomi Pendidikan
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.
1.      Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah yang  relatif homogen secara etnis.
Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar kepada para putra daerah untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara besar-besaran. Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit. Kehadiran guru-guru dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah air, sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah satu-satunya etnis yang ada di tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga pendidik untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah terhadap tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu tersebut.
M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak kompeten.[5]


2.      Ketidak siapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.
Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di samping itu, ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai.
Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas, sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara desentralistik.
3.      Berorientasi Nilai dan kelulusan
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan[6] dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitaspendidikan, yaitustandarisi,standar proses,standarkompetensilulusan,standarpendidikdantenagakependidikan,standarsaranadanprasarana,standarpengelolaan,standarpembiayaan, danstandarpenilaianpendidikan.[7]
Di samping penetapan dan pemberlakuan berbagai standar pendidikan di atas, ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan. Dengan naskah ujian yang dibuat oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus mengikuti ujian akhir, dan harus mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus. Diharapkan pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu para pengemban otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Ukurannya adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di sinilah persoalan besar mulai mengintai.
Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya.
Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang halal hingga yang haram pun dilakukan. Contoh upaya halal yang menganggu proses pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN. Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan kerjasama dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden untuk membiarkan terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional.
Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.
4.      Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme.
Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi sebuah narasi besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-lembaga non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa, pendidikan Pancasila telah menjadi wabah di seluruh Indonesia dan menjadi narasi besar pendidikan nasional.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil Postman dalam karya provokatifnya “The End of Education.” Menurut Postman, pendidikan memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama, kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama.[8] Ketiadaan narasi besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara, menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompok-kelompok orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan dewasa ini, dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama. Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dalam pendidikan.Di sinilah nampak bahwa pendidikan kita seperti kehilangan nilai-nilai sejatinya. Pendidikan seolah-olah hanya dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan manusia yang cerdas dan berprestasi.
Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini. Di antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan dikesankan menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal pendidikan. Namun demikian keduanya masih perlu diuji lebih lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama dalam pendidikan.

D.    Masalah Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah
Perbincangan mengenai pendidikan tidak pernah berhenti, apalagi berbicara mengenai mutu pendidikan di tanah air kita ini, baik daerah, Nasional bahkan telah banyak diperbincangkan oleh masyarakat kita. Semua menjadari bahwa mutu pendidikan di negara Indonesia, masih sangat jauh dari yang diharapkan. Tentunya kita boleh hanya memperbincangkan kekurangannya saja tetapi yang tak kalah penting adalah memberikan solusi.
Berbagai regulasi aturan dibuat oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, mulai dari penetapan alokasi anggaran minimal 20 % dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) melalui pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintan No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Standar Nasional yang menjadi norma acuan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang mencakup standar; isi, proses, kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian.
Bicara mengenai mutu pendidikan di era otonomi daerah banyak faktor yang sangat mempengaruhi, tapi paling tidak ada tiga faktor besar, yaitu:
1.      Guru kurang Profesional
Seorang pengamat pendidikan dari Jepang bernama Dr. Saito menyatakan bahwa persoalan utama dari rendahnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya kesempatan guru untuk belajar. Keadaan ini berimplikasi luas terhadap keberadaan guru dalam melaksanakan tugasnya, mulai dari persoalan penguasaan materi yang relative rendah, persiapan mengajar yang asal-asalan, penanaman konsep yang lemah pada saat mengajar, sampai pada persoalan penilaian yang tidak tuntas.
Ditambah lagi keadaan guru-guru yang mengalami kesulitan mengembangkan materi pelajaran yang disebabkan oleh kurangnya guru melakukan riset atau pembuktian terbalik ketiga mau mengajarkan suatu materi. Guru terlalu gampang untuk masuk dikelas, walaupun pemahaman guru tersebut terhadap materi yang mau diajarkan belum dipahami secara tuntas.
Demikian pula, yang berhubungan dengan persiapan merencanakan kegiatan pembelajaran yang belum dipersiapkan secara baik sampai pada penilaiannya yang baik pula ditambah dengan lemahnya motivasi guru melalukan riset atau pembuktian terbalik sebelum mengajarkan satu materi, guru pada umumnya terlalu sering masuk kelas tanpa merencanakan konsep pembelajaran yang bagus, dst. Penomena yang ada di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya, banyak guru yang masih memprihatinkan keberadaannya sebagai guru , ini dapat dilihat dari persoalan persiapan mengajarnya yang tidak dipersiapan sebagaimana tuntutan kaidah yang diatur dalam standar proses ( Permen 41 tahun 2007). Mereka memiliki Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) namun masih copy paste teman guru lainnya, seyogianya disusun sendiri sesuai kondisi nyata disekolah atau setidaknya diadopsi dari guru lain namun disesuaikan dengan kondisi murid dan sekolahnya, Kondisi lain adalah guru tidak mempersiapkan bahan ajar serta penialainnya yang memadai sebagaimana diamanatkan dalam permendiknas nomor 20 tahun 2007. Ini dilihat dari persoalan persiapan mengajar, belum dilihat dari caranya mengajar sampai bagaimana kehadirannya di sekolah.
Jadi memperhatikan aturan-aturan yang ada di atas, maka perlu diadakan sosialisasi secara lebih luas dan mebuatkan aturan yang lebih kongkrit di daerah agar, keberadaan guru betul menuju pada tugas dan fungsi yang membuat mutu pendidikan di sekolah.
2.      Regulasi penempatan pejabat birokrasi di lingkungan Pendidikan di daerah.
pada umumnya menempatkan mereka berdasarkan persoalan suka tidak suka. Yang banyak menjadi penentukan berhubungan dengan konstribusi pada saat menghadapi pilkada. Siapa yang berjasa dalam pemenangan, maka mereka itulah yang diberi kesemptan mendapatkan jabatan dan sebaliknya siapa yang berada pada tim kalah, mereka akan jadi pecundang dan bahkan harus relah kehilangan jabatan, atau tiba-tiba dijadikan guru biasa, dan tidak kalah gentingnya dibeberapa daerah ditemukan kepala sekolah yang menurut aturan 60 tahun usia pensiunnya dimutasi ke jabatan struktur yang masa kerjanya hanya sampai dengan 56 tahun langung memasuki usia Masa Percobaan Pensiun. Regulasi yang berhubungan dengan pengembangan jabatan profesional guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah sudah sangat jelas namun persoalan kemudian hampir semua diabaikan oleh pemegang kendali kekuasaan di daerah. Karena itu, perlu dicarikan jalan penyelesaiannya, agar semua kembali kejalan yang benar berdasarkan aturan yang ada, agar mutu pendidikan pada suatu saat dapat menjadi spirit dalam membangun negara yang kita cintai ini. Marilah kita berguru dan belajar pada negara-negara yang sudah maju, bahwa tidak banyak negara di dunia yang bias mempertahakan kemajuan bangsanya tanpa dibangun melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM)
3.      Penghargaan bagi siswa berprestasi.
 Berhubungan dengan rendahnya motivasi belajar mereka, maka secara spontan tidak sedikit memberi jawaban bahwa di Indonesia, orang pintar di sekolah tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan yang baik pada saat masuk usia kerja. Banyak orang pada usia sekolah sangat santai justru beruntung mendapat pekerjaan yang bagus dengan penghasilan tinggi. Siswa berprestasi di bangku sekolah SD pada saat ingin masuk di SMP berstandar, belum tentu diterima, selanjutnya alumni berprestasi di SMP berstandar atau alumni SMA berstandar di terima di Perguruan Tinggi ternama, dan alumni pada perguruan tinggi ternama dengan prestasi cemerlang otomatis mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan penghasilan besar.
Mengapa demikian, jawabannya jelas bahwa di Indonesia satu kata tidak ada yang “jelas diatas ketidak jelasan “. Tentu saja kejadian tersebut sungguh memilukan dan memalukan, apalagi bila dihubungkan dengan keinginan untuk menata dan memperbaiki mutu pendidikan di republik ini. Sungguh ironis memang tapi itulah yang terjadi. Kemana kita mengharap dan pada siapa kita harus mengeluh. Padahal Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang 43 Tahun 1999, telah menetapkan beberapa perubahan dalam manajemen PNS. Perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa setiap organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah harus memiliki Sumber Daya Manusia PNS yang memenuhi persyaratan baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara professional.
Rekrutmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencana sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam fungsi pemekerjaan (employee function) SDM-PNS selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Meskipun sistem rekrutmen telah diatur dalam peraturan pemerintah sebagai upaya untuk menjaring SDM-PNS yang kompeten, namun dalam implementasinya belum memenuhi kebutuhan yang dapat menunjang keberhasilan kinerja dan profesionalitas SDM-PNS. Kondisi SDM-PNS seperti antara lain perencanaan kepegawaian saat ini belum didasarkan pada kebutuhan nyata sesuai dengan kebutuhan organisasi.


  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berbagai persoalan dan pemikiran di atas menunjukkan bahwa pendidikan nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang luar biasa besar. Dinamika ini terjadi karena sebagai negara, Indonesia sedang dalam proses transisi panjang menjadi negara demokrasi. Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian dari proses transisi tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila banyak dijumpai kejanggalan atau anomali dan ketidakpuasan atas apa yang sedang terjadi.

B.     Saran
Kunci keberhasilan pendidikan nasional adalah penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan. Oleh karenanya lembaga-lembaga pendidikan harus benar-benar disiapkan menjadi lembaga lembaga yang beorientasi pada pengembangan kualitas-kualitas pribadi siswa, tidak hanya mengembangkan intelektualitas dan berpaku pada formalitas. Untuk itu, Mochtar Buchory pernah mengemukakan, bahwa dunia pendidikan kita tidak sekedar memerlukan reformasi seperti yang terjadi di bidang politik dan ekonomi, tetapi ia memerlukan transformasi guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter.[9] Oleh karenanya, lanjut Buchory, guru harus dilepaskan dari beban politik dan kepentingan sepihak birokrasi, guru harus diberikan keleluasaan untuk mendidik karakter siswa.[10]


Daftar Pustaka

Buchory, Mochtar (2001), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
Buhory, M. H. (2007) ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
‘Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan’Kompas Online edisi 29 Nopember 2011 http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikandiakses tanggal 28 September 2015.
Hidayat, M. (2011)  ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
Nata, Abuddin (2004), ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12. 
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Postman, Neil (1995), The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004.



[1]“Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan” diambil dari Kompas Online edisi 29 Nopember 2011. http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.Konsep.Otonomi.Pendidikan diakses tanggal 16 April 2011.
[2]Muhammad Hasanuddin Buhory, ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34 No. 2, Juli 2007, hal. 115
[3] Abuddin Nata, ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No. 2, tahun 2004, hal. 12.
[4] Menurut UU No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
[5] Lihat M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
[6] Lihat Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang dibuat berdasarkan amanat UU No. 20 tahun 2003.
[7] Untuk penjelasan lebih lanjut tentang berbagai standar tersebut, lihat PP No. 19 tahun 2005.
[8] Neil Postman, The End of Education: Redefining the value of school, New York: Alfred A Knopf, 1995.
[9] Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71
[10] Mochtar Buchory, Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar