Translate

Senin, 30 November 2015

PENDIDIKAN ISU-ISU SEJARAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Pendidikan merupakan human investment yang sangat strategis untuk mencetak generasi di masa mendatang.Format pendidikan yang lebih baik sudah barang tentu menjadi keharusan seperti saat ini.Masyarakat dengan berpengetahuan tinggi sudah menjadi sebuah keniscayaan, tidak terkecuali pada masyarakat Islam.Dalam catatatan sejarah, peradaban Islam sebenarnya telah menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang komprehensif dan kondusif dalam rangka memajukan dan meninggikan martabat manusia.Namun selama beberapa abad terakhir, peradaban Islam seakan mengalami kemerosotan bahkan kemunduran akibat kurangnya pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta.  Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negative globalisasi atau modernisme. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.
Fomulasi pendidikan dalam Islam sebenarnya sangatlah variatif.Di Indonesia misalnya, ada banyak bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam.Sebut saja Pondok Pesantren, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah, Perguruan Tinggi Islam dan sebagainya.Dinamika sejumlah pendidikan yang dulu terkesan terbelakang itu kini tengah mulai menunjukkan eksistensinya.Fenomena transformasi pendidikan Islam itu kini semakin terbuka, inovatif dan modern dengan aneka wajah barunya yang dinamis. Namun bukan berarti potensi problematika dan tantangan pendidikan Islam ke depan sudah tidak ada dan tidak akan muncul kembali.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak sekian lama dari zaman prakemerdekaan sampai sekarang.Oleh sebab itulah dalam perkembangan penataan kebijakan dan pemberdayaan pendidikan Islam mesti tetap memerhatikan dua aspek strategis.Yakni, pertama, aspek kontinuitas tujuan, subtansi dan jatidiri pendidikan Islam.Kedua, aspek inovasi dan transformasi yang memungkinkan pendidikan Islam memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam sistem pendidikan secara umum di Indonesia.
Dalam rangka memahami posisi pendidikan Islam di tengah-tengah semangat reformasi pendidikan nasional, tentunya perlu untuk melihat makna dan peran pendidikan Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Begitupula guna mencari paradigm baru pendidikan Islam seyogyanya diawali dari eksistensi pendidikan Islam dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara.Baik pada masa lalu, masa kini dan hingga masa mendatang.Karena itu, dalam menggali nilai-nilai luhur yang ada pada pendidikan Islam harus dengan jujur dan tepat dalam menentukan posisi, fungsi dan peran pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Makalah ini mencoba memberikan potret atau gambaran utuh dinamika dunia pendidikan Islam kontemporer.  mulai madrasah, pesantren, diniyah hingga perguruan tinggi Islam,  disertasi analitis dari sudut pandang tidak hanya kaitannya dengan masalah pendidikan nasional, namun lebih dari itu juga faktor sosial, politik dan budaya di Indonesia dijadikan sebagai bahan acuan dalam memandang dunia pendidikan Islam dewasa ini.
Mengingat jalan panjang pendidikan umum dan Islam di Indonesia guna mencapai kemajuan seperti yang kian terasa saat ini tidaklah mudah.Setelah melewati masa marjinalisasi dan keterbelakangan yang panjang, pendidikan Islam terus berjibaku menstransformasi diri. Tepatnya setelah terjadi pergeseran mainstream menuju pengarusutamaan pendidikan Islam (go to mainstreaming of Islamic education).

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi kontemporer dunia pendidikan Indonesia?
2.      Bagaimana problematika pendidikan saat ini?
3.      Bagaimana refleksi pendidikan kontemporer?

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Kondisi Kontemporer Dunia Pendidikan Indonesia
a. Pendidikan Umum
Berbicara masalah pendidikan di Indonesia adalah membahas hal yang sangat luas, dinamis, fluktuatif dan relatif.Oleh karena itu, kita hanya bisa mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia ‘gagal’ secara kategoris. Sebenarnya pendidikan Indonesia telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional dan output yang brilyan dan kompetitif dari masa ke masa. Kalau digeneralisasi bahwa dunia pendidikan kita sudah gagal, maka Republik ini sudah lama bubar. Salah satu contoh keberhasilan pendidikan kita misalnya adalah menjamurnya sekolah-sekolah yang ‘berprestasi’ khususnya pada jenjang Sekolah Menengah yang dalam periode 1996-1997 sering dikenal sebagai SMU (sekarang kembali ke istilah Sekolah Menengah Atas atau SMA) ‘unggulan’ atau SMU ‘plus’.
Dari studi Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Depdiknas terhadap 12 SMU yang dinilai berprestasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, prestasi yang dicapai oleh sekolah berprestasi ini cukup melegakan. Indikator pertama, NEM SMU berprestasi setiap tahunnya berada pada peringkat 1, 2, atau 3 di tingkat propinsi lokasi sekolah bersangkutan. NEM terentang dari 47,99 sampai 64,27. Sekitar 81,2% rata-rata NEM siswa SLTP (sekarang kembali ke istilah Sekolah Menengah Pertama atau SMP) yang diterima di SMU berprestasi adalah 6,5 keatas. Kedua, sebagian besar guru SMU berprestasi memiliki pendidikan S1, hanya beberapa SMU yang memiliki beberapa guru jenjang S2, sarjana muda atau D3, bahkan SMU. Ketiga, kebanyakan SMU berprestasi memiliki sarana dan prasarana yang baik, yakni tanah yang cukup luas, tempat parkir, lapangan olah raga, tempat bermain atau jenis kegiatan lainnya, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, alat bantu pelajaran Fisika, Biologi, Matematika serta berbagai peralatan elektronik seperti video, TV, tape-recorder, sound system dalam lab bahasa, perangkat komputer sebagai media belajar. Keempat, seluruh guru SMU berprestasi menyusun satuan pelajaran. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi: intra dan ekstra kurikuler. Guru umumnya menyampaikan materi dengan metode yang bervariasi meliputi: ceramah, tanya-jawab, diskusi, simulasi, resitasi, tugas membaca di perpustakaan, praktikum di laboratorium, dan pemanfaatan media belajar lainnya.



b.Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien. Sedangkan pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut : Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.

c. Isu-isuKontemporer Pendidikan di Indonesia
Isu-isu kontemporer pendidikan di Indonesia saat ini banyak sekali.Isu-isu tersebut berkembang begitu cepat dan pesat dengan adanya ICT sekarang ini. Kontemporer artinya kekinian, modern atau sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama saat ini. Jadi isu kontemporer pendidikan  menurut penulis adalah isu-isu terkait dunia pendidikan yang tidak terikat lagi oleh aturan-aturan zaman dulu, dan berkembang sesuai zaman sekarang. Salah satu isu kontemporer pendidikan di Indonesia yaitu "Komersialisasi Pendidikan".
Harus jujur diakui praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum.Nampaknya gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi, baik itu swasta maupun negeri.Contohnya yang paling sederhana yaitu semakin mahalnya biaya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi sekarang ini.Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan.Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk jenjang playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.
Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan saat ini harus menjadi perhatian serius Pemerintah.Hal ini menunjukkan pengelolaan pembiayaan pendidikan yang ada saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan di dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.Dalam pasal 48 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Prinsip keadilan, artinya setiap warga negara berhak mendapatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang layak tanpa adanya diskriminasi.Prinsip efisiensi, artinya adanya keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan pencapaian prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip transparansi, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka kepada masyarakat tentang sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip akuntabilitas publik, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak perencanaan hingga dampak/produk yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada publik.
Pada akhirnya pengelolaan pembiayaan atau pendanaan pendidikan yang berpijak pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik merupakan amanah konstitusi yang wajib kita laksanakan.Tentu untuk mewujudkan ini semua perlu adanya dukungan dan pengawasan (controlling) dari berbagai pihak, baik Pemerintah, stakeholder pendidikan dan seluruh komponen bangsa.

B.       Problematika Pendidikan
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal.Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit.Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi.Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
a. Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b. Masalah Kurikulum
Kedudukan kurikulum di sini dapat ditempatkan dalam guiding Intruction (arahan & bimbingan) dan juga harus bisa menduduki peran sebagai alat anticipatory, yaitu alat yang dapat meramalkan masa depan.
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan.Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan.Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c. Pendekatan atau Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa atau mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa atau mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa atau mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d. Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa orde baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai.Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.
e. Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.

2. Faktor Eksternal
a. Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama.Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan Islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antarahukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b. To General Knowledge (pengetahuan umum)
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general atau sumum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat.Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar atau pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual.Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan Islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian atau penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit”(semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d. Demokratisasi Pendidikan Islam
Demokrasi berasal dari bahasa yunani, dari kata “demos” dan “cratos”, demos berarti rakyat dan cratos berarti pemerintah. Amka demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Menurut Peter Salim, “Demokrasi adalah pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua negara”. Sedangkan Zaki Badawi berpendapat bahwa demokrasi adalah menetapkan dasar- dasar kebebasan dan persamaan terhadap  individu- individu yang tidak membedakan asal, jenis agama dan bahasa.
Menurut Dede Rosyada, istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang bermakna kekuasaan berada di tangan rakyat, mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam lembaga pendidikan, namun secara substansif demokrasi membawa semangat dalam pendidikan, baik dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi. Apabila dihubungkan dengan pendidikan maka pengertiannya sebagai berikut: Vebrianto memberi pendapat pendidikan yang demokrasi adalah pendidikan yang pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak (peserta didik) mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi –tinginya sesuai dengan kemampuannya.
Sugarda Purbakawatja, memberikan definisi bahwa demokrasi pendidikan, adalah pengajaran pendidikan yang semua anggota masyarakat mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang adil.Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan persamaan kewajiban dan hak dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Prinsip demokrasi pendidikan islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam islam, atau dengan kata lain demokrasi pendidikan islam merupakan implementasi prinsip – prinsip demokrasi islam terhadap pendidikan islam.
Demokratisasi merupakan isu sentral yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Inti demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.Tanpa demokrasi, kreatifitas manusia tidak mungkin berkembang.
Baik secara normative maupun empiris, Islam bukanlah anti demokrasi.Secara normative Islam memang tidak menjelaskan bagaimana bentuk demokrasi yang dianut, namun ajaran Islam mengandung prinsip dan kaidah yang merupakan kata kunci isu demokrasi.Diantara kaidah demokrasi dimaksud adalah : Pertama, kaidah ta’aruf (saling mengenal), bahwa demokrasi terkait dengan interaksi sesame manusi, dan dalam keterkaitan itu terdapat saling memahami atau mengenal (ta’aruf). Kedua, kaidah syura (musyawarah). Ketiga, kaidah ta’awun (kerja sama). Keempat, maslahah atau menguntungkan masyarakat.Kelima, kaidah ‘adalah atau keadilan.Keenam, kaidah tagyir atau perubahan.bahwa demokrasi adalah bersumber dari rakyat, sementara rakyat itu sendiri berkembang, berbeda, juga berubah.
Metode pendidikan dan pengajaran Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.Bila seseorang memiliki keinginan untuk belajar dan rasa cinta ilmu, kegairahan untuk mengadakan penelitian dan pembahasan, pintu untuk belajar terbuka luas, bahkan Islam mendorong supaya mereka belajar, apalagi bla seseorang itu berpembawaan cerdas.
Islam menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk beljar bagi semua orang, tanpa adanya peerbedaan antara si kaya dan si miskin dan status sosial ekonomi seorang peserta didik, serta tidak pula gender.
e. Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dariknowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.

C.       Refleksi Pendidikan Kontemporer
Pengumuman hasil ujian nasional (Unas) Tingkat sekolah lanjutan pertama (SLTP) di Kabupaten jember dilakukan secara serentak.Sebanyak 884 orang siswa dinyatakan tidak lulus. Banyaknya angka ketidak lulusan pada siswa SLTP kabupaten jember merupakan salah satu contoh dari banyaknya siswa SLTP yag tidak lulus di daerah lain yang ada di Indonesia
1.    Introspeksi
Adanya kebijakan pemerintah dalam melakukan standarisasi Ujian Nasional pada tingkat SLTP merupakan salah satu hal yang harus kita introspeksi, ada dua perspektif yang menjadikan kebijakan seperti ini menjadi sebuah dilema, pertama ketidak siapan masyarakat terhadap standarisasi system pendidikan yang sudah menjadi kebijakan pemerintah saat ini, ketidak siapan ini dibuktikan dengan banyaknya angka siswa SLTP yang tidak lulus dalam ujian nasional, banyaknya kecurangan dengan adanya modus pembocoran soal ujian dan masih banyak lagi hal-hal yang membuktikan bahwa bangsa ini memang belum seluruhnya mampu menerima standarisasi Ujian nasional, kedua dengan adanya standarisasi, pemerintah berupaya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, sehingga bisa kita lihat adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkn nilai standar kelulusan setiap tahunya, adanya penyamaan soal ujian yang di tuangkan dalam bentuk standariasasi Ujian nasioanal, hal itu semua merupakan langkah pemerintah untuk menstimulus generasi bengsa ini untuk lebih giat dalam proses belajar. Dari dua perspektif tadi dapat kita simpulkan bahwa ketidak siapan siswa dalam menghadapi “niat baik pemerintah” tersebut akan menjadi boomerang bagi perkembangan system pendidikan bangsa ini. Sehingga perlu kiranya kita evaluasi lagi mengenai kebijakan standarisasi tadi apakah sudah relevan dengan kondisi obyektif semua siswa, apakah setiap institusi sekolah sudah mempunyai infarastruktur yang sama pada tiap-tiap sekolahan, sudah siap belum para siswa menerima kebijakan seperti itu.
Sehingga menjadi suatu hal yang cukup tragis ketika kita melihat banyaknya siswa yang tidak lulus, seperti halnya yang terjadi di kabupaten jember ini, siswa terjebak oleh system yang terlalu memperkosa intelektualitas mereka, ketidak mampuan mereka menjawab soal ujian merupakan kesalahan pemerintah dalam memetakan soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan kemampuan masing-masing sekolah didaerah, hal ini di karenakan kemampuan dari masing-masing sekolahan pada setiap kabupaten/kota dan desa tidak sama, infrastruktur yang mendukung proses belajar mengajar pun setiap sekolah mempunyai perbedaan. Cukup rasional jika banyak siswa-siswa SLTP dipedesaan yang sekolahnya hanya memiliki ruangan yang minim, staf pengajar Cuma satu, alat-alat pendukung lainya tidak ada, tidak mampu menjawab soal-soal yang semestinya di tempatkan pada sekolah-sekolah tingkat SLTP “level tinggi” yaitu sekolah yang sudah mempunyai kelengkapan dan kemapanan infrastruktur dalam proses belajar mengajar, sekolah semacam ini paling sering kita jumpai di wilayah perkotaan.
2.      Perbedaan Infrastruktur
Jelas bahwa ketika adanya perbedaan seperti ini, maka sekolah-sekolah yang ada di pedesaan akan menjadi tumbal dari system, sekolah-sekolah yang minim infrastruktur belajar mengajar akan mati karena ketidak mampuan mereka dalam menghadapi standarisasi tersebut, sehingga kerap terjadi adanya pembocoran soal akibat ketidak mampuan siswa dalam menghadapi soal ujian yang sentralistis tersebut, dengan demikian besar kemungkinan akan terjadi pembocoran soal ujian berjamaah oleh sekolah-sekolah yang merasa tidak mampu dengan soal-soal yang di berikan pemerintah untuk ujian, disinilah pembodohan kolektif terjadi, pembodohan yang dilakukan karena jebakan system pendidikan yang kurang proporsional
Adanya perbedaan taraf kemampuan pada sekolah di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan merupakan masalah yang cukup esensial, sehingga pemerintah dapat mempertimbangkan dampak dari kebijakanya menaikan nilai kelulusan bagi siswa di pedesaan, soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan kemampuan setiap daerah dan kebijakan seperti meningkatkan nilai standart kelulusan tersebut pada tiap tahunya merupakan ancaman bagi sekolah yang minim infrastruktur dalam proses belajar mengajar, sehingga kebijakan seperti bukanlah bukanlah solusi cemerlang untuk mengatasi ketimpangan setiap sekolah, saat ini yang dibutuhkan adalah proses bagaimana siswa itu dapat meningkatkan kualitas Sumber daya manusianya tanpa menjadikan mereka sebagi tumbal sebuah system. Kebijakan tersebut akan cukup efektif den efisien ketika pemerintah menyamaratakan infrastruktur kegiatan belajar mengajar pada setiap sekolah, tidak ada lagi eksklusifitas tetapi inklusifitas, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan sehingga tidak ada lagi kesenjangan pada setiap sekolah

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendidikan kontemporer harus menyesuaikan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi.Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mengembangkan sistem pendidikan yang berwawasan global agar menghasilkan out put (lulusan) dari lembaga pendidikan yang lebih bermutu, supaya mereka percaya diri dalam menghadapi persaingan global, dan mengedepankan metode interdisipliner, interkonektifitas.Paradigma baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik integralistik). Atau dengan kata lain pendidikan yang menjadikan satu antara fisi, konsep dan tujuan.
Struktur keilmuan tersebut adalah mempertemukan kembali antara ilmu-ilmu Agama (religius sciences) dengan ilmu-ilmu umum (modern sciences).  Saling terkait (interconnected entities). yang akan mengsinerjikan disiplin ilmu tersebut agar mampu berjalan bersama, supaya mampu diterapkan sesuai konsep pendidikan ideal yang akan menghasilkan progres dalam dunia pendidikan.

  
DAFTAR PUSTAKA

Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008.
H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1997.
Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Semarang : Rasail, 2008.
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
http:// nanogummy.wordpress.com/2013/015/25/demokrasi-pendidikan-dalam-islam/
Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008), Cet. I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar