Senin, 30 November 2015

PARADIGMA PENDIDIKAN


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Paradigma
    Dalam pemaknaan kata “paradigm” mengandung arti model pola skema. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model atau pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan.
    Landasan filosofis mengandung arti “the love for wisdom” menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of wisdom, lover of success, lover of pleasure. Sedangkan acuan pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural, macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
    Dengan demikian paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat dari makna filosofis suatu bangsa (kearifan lokal atau bangsa) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup yang lebih baik.Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis (agama) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian.

  2. Paradigma Pendidikan
    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual, keagamaan, pengendaliandiri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsanya. (UU sisdiknas bab I, pasal 1)
    Paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut. Dan juga dalam pendidikan terdapat sejumlah paradigma berfikir. Paradigma behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif yang memiliki rpengaruh dalam pendidikan.
    Banyak orang sudah mengetahui bahwa ternyata potensi yang dimiliki oleh otak manusia itu sungguh luar biasa. Tapi sayangnya potensi itu hanya tinggal potensi. Sebagian besar manusia belum bisa menggunakan dan memanfaatkan kehebatan potensi otak yang dimilikinya. Sebagian besar metode dan suasana pembelajaran di sekolah-sekolah yang digunakan oleh guru kita tampaknya banyak menghambat daripada memotivasi potensi otak. Oleh karena itu perlu adanya proses kreatif pada pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Para ahli pendidikan perlu merumuskan kembali paradigma dan visi pendidikan kita.
    Paradigma dan visi pendidikan yang cocok bagi tantangan zaman sekarang ini yaitu seperti yang pernah dibahas oleh UNESCO dalam World Education Forum dalam mempersiapkan pendidikan manusia abad ke-21. Pendidikan hendaknya mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan peserta didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilahnya Ivan Illich, menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tapi learner (yang belajar).
    Paradigma pendidikan versi UNESCO ini  sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching. Keempat paradigma pendidikan ini disebut sebagai soko guru dari manusia abad ke-21 menghadapi arus informasi dan kehidupan yang terus menerus berubah.
    Pertama, learning to think (belajar berpikir). Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi. Proses belajar yang terus menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir. Dengan sendirinya belajar yang hanya “membeo” tidak mempunyai tempat lagi di dalam era globalisasi. Sehubungan dengan itu maka penguasaan bahasa digital telah harus dikuasai oleh anak-anak kita karena dengan demikian dia dapat memasuki dunia tanpa batas. Dengan demikian konsep belajar dan pembelajaran harus diubah dan membuka pintu kepada teknologi pembelajaran modern sungguhpun tetap dibutuhkan pendidikantatap muka oleh orang tua, guru, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya di dalam rangka pembentukan akhlak manusia abad ke-21.
    Kedua, learning to do (belajar berbuat). Pada abadke-21 menuntut manusia-manusia yang bukanhanya berpikir tetapi manusia yang berbuat. Manusia yang berbuat adalah manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya. Dengan berbuat dia dapat menciptakan produk-produk baru dan meningkatkan mutu produk-produk tersebut. Tanpa berbuat pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti. Aspek yang ingin dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seseorang peserta didik menyelesaikan problem keseharian. Dengan kata lain pendidikan diarahkan pada how to solvethe problem. 
    Ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Disini pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang peserta didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakangetnik, agama dan budaya.Di sinilah pendidikan akan nilai-nilai perdamaian, penghormatan HAM, pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama yang harus menginternal dalam kesadaran learner. 
    Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Pendidikan ini menjadi sangat penting mengingat masyarakat moderns saat ini tengah dilanda suatu krisis kepribadian. Orang sekarang biasanya lebih melihat diri sebagai what you have, what you wear, what you eat, what you drive, dan lain-lain. Karena itu pendidikan hendaknya diorientasikan pada bagaimana seorang peserta didik di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki (materi materi dan jabatan - jabatan politis). Paradigma pendidikan tersebut di atas bila disimpulkan akan diperoleh kata kunci berupa “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademikyang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja, melainkan juga berorientasi pada bagaimana seorang peserta didik bisa belajar dari lingkungan, dari pengalaman dan kehebatan orang lain, dari kekayaan dan luasnya hamparan alam, sehingga mereka bisa mengembangkan sikap kreatif dan daya berpikir imaginatif.

  3. Paradigma Behavioristik, Kontruktivistik Dan Sosial Kognitif Dalam Pendidikan
  1. Paradigma Behavioristik Dalam Pendidikan
    Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal paradigma klasik yang disebut paradigma behavioristik.  Paradigma ini muncul terutama pada tahun 1930-an. Paradigma ini dipelopori oleh Pavlov (1849-1936), Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949).
    Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan sampai pada tahun 1960-1970-an di barat dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma behavioristik atau perilaku sosial ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk pengembangan menejemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran positivisme, empirisme, teknokrasi dan manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model pmbelajaran sebelumnya yang menganut perspektif gcstalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran kognitif.
    Perspektif yang dikembangkam oleh Piaget dan Vygotsky ini dianggap oleh penganut paradigma behavioristik memiliki kelemahan karena tidak memfokuskan langsung kepada gerakan-gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bisa diamati.Pavlov menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran untuk membentuk perilaku organisme.
    Sementara itu Watson (1878-1958) yang memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan gagasannya berdasarkan apa yang di rintis Pavlov. Ia mengembangkan pemikiran bahwa bentuk substitusi satu stimulus terhadap yang lain. Hal ini di lakukan dengan asumsi bahwa cara berfikir manusia mekanistik, dan bukan merupakan proses kerja mental.
    Thorndike (1913-1931) banyak memberi sumbangan pengembangan paradigma behavioris dengan mengeksplorasi dampak perilaku tertentu terhadap perilaku tetentu lainnya. Temuannya menghasilkan rumus yang berlaku secara umum yang disebut dengan hukum pengarih (law of effect). Dalam hukum pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenanglan. Implikasinya tindakan yang menghasilkan hal yang menyenangkan akan cenderung diulang dengan menggunakan lingkungan dan cara yang sama. Hukum pengaruh inilah yang dijadikan sebagai batu pijakan dalam tindakan.
    Menurut teori ini lingkungan pembelajaran merupakan faktor yang amat menentukan. Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan respon berdasarkan stimulus dari luar. Hadiah dan sangsi  merupakan cara-cara yang diaggap sangat efektif untuk membentuk dan mengembangkan bakat.
    Paradigma ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai bentuk rasa perorangan yang tak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Mereka berpandangan ‘tidak ada hantu dalam sebuah mesin.’ Meskipun mereka mengakui adanya kesadaran dan pemikiran manusia. Namun hal itu bukan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam menyusun strategi pembelajaran. Dalam hal menyusun pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala sesuatu yang dapat diamati (observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi pembelajaran sering diartikan sebagai akumulasi dari berbagai skill, pembuatan memori terhadap berbagai fakta dalam wilayah dan kerangka pengetahuan tertentu. Kesemua itu kemudian membentuk kebiasaan yang memungkinkan dapat menampilkan hasil dengan cepat.
    Pemikiran seperti tergambar diatas, lalu menimbulkan implikasi terhadap berbagai faktor pemblajaran. Implikasi terhadap peran guru dalam pembelajaran, misalnya, guru harus bisa melatih skill siswa dengan tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Implikasinya terhadap pengembangan kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai dari skill dasar terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan kompleks. Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit, melainkan dari yang sederhana. Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus dan respon. Pembetulan sebuah kesalahan dilakukan dengan membangun hubungan antara stimulus dan respon.
    Implikasinya terhadap peran siswa antara lain dalam pengorganisasian  pembelajaran. Guna mencapai hasil yang optimal, siswa harus diorganisasikan dalam kelompok yang homogen dilihat dari latar belakang kemampuan dan tingkat skill yang dimiliki. Disamping pemberian instruksi dan  program pembelajaran diatur secara hirarkis dengan memperhatikan tingkat kemajuan pemilihan, kemampuan dan skill siswa.
    Implikasi terhadap cara penilain, disini paradigma behavioristiik mengajarkan agar kemajuan pembelajaran diukur ,melalui test dengan berbagai item yang ditentukan berdasarkan level atau tingkat hirarki skill siswa. Hasil belajar biasany dilihat dari sudut benar atau tidak benar, dan bagi mereka yang hasilnya kurang diberi kesempatan untuk mengulang lebih intensif  lagi pada bagian yang di anggap kurang tersebut. Kalau tidak melakukan latihan ulang secara lebih intensif, bisa juga dilakukan dengan cara mulai kembali belajar dari skill dasar.
    Guna menerapkan paradigma behaviouristik yang juga sering disebut sebagai perspektif Skinnerian ini guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam karangan pembelajaran behaviouristik. Selanjutnya guna menyusun tahapan-tahapan pembelajaran tersebut secara hirarkis sehingga pada akhirnya sampai pada tujuan tersebut. Sementara itu siswa ditempatkan pada situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu.
    Lingkungan, situasi atau operant merupakan alat melakukan reinforcement. Alat itu bisa berupa materi, mainan, perlombaan, kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang bersifat eksternal lainnya. Oleh karena itu guru harus pandai memilih alat yang tepat sebagi operant atau pendorong. Hal itu harus dilakukan karena menurut Skinner pendorong yang baik (positif reinforcement) akan menghasilkan respon yang baik atau efektif. Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement) akan menghasilkan respon yang jelek oleh karena itu tidak efektif.
    Untuk menjalankan paradigma Skinnerian ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi yang harus dikuasai. Kopetensi itu meliputi :
  1. Mengetahui perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
  2. Menggunakan pendekatan yang dapat memecahkan perilku yang tidak diinginkan.
  3. Menggunakan berbagai bentuk strategi mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi, penggunaan sanksi yang efektif. Mengembangkan keiatan rutin yang jelas dalam mengelola perilaku siswa konsisten dengan peraturan sekolah. Melakukan tindakan yang tepat, tegas, adil dan konsisten.
    Guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, melalui progam, sasaran tahapan aktifitas, menyediakan contoh, mengkoreksi praktik agar sesuai dengan rencana, dan tidak melepas siswa belajar sendiri. Untuk itu guru harus melakukan upaya antara lain :
  1. Menghubungkan progam pembelajaran dengan tujuan dan sasaran pendidikan.
  2. Menyusun tujuan yang jelas dalam progam pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagai mana telah yang di sepakati sebelumnya.
  3. Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah di rencanakan.
  4. Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian yang telah di raih oleh siswa sebelumnya.
  5. Susunan strategi pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap, serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada praktek yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendri secara langsung, melainkan bimbing dan kalau hendak melepaskan lakukan sevara bertahap.
  6. Hubungan proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.

  1. Paradigma Kontruktivistik Dalam Pendidikan
    Paradigma konstruktutivistik beakar pada filsafat homanisme dan fenomenologi. Namun dalam perkembangnanya, paradigma ini juga mengambil sejumlah gagasan yang di kembangkan oleh filsafat rasionalisme dan bahkan juga positivisme, meskipun tidak sedominan seperti dalam paradigma behavioristik. Paradigma konstruktivistik ini di kembangkan oleh Chomsky dalam Linguistik, Sinom dalam computer scientists, dan Bruner dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya. Dalam pendidikan dikaitkan dengan nama-nama seperti Piaget dan Vygotsky. Ahli psikoanalisis juga bergabung denga pradigma ini dan menambah perspektif ini menjadi lebih kaya, sehingga kemudian popularitas paradigma ini menggeser popularitas paradigma behaviolistik pada tahun 1960-an.
    Paradigma konstruktivisme merupakan suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam mamaknai proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigma pembelajran yang sebelumnya lebih menitikberatkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dari perubahan pandangan yang cukup lama yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamatan (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini berkembang pesat pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.
    Konstruktivisme dalam hal ini mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ‘pemahaman siswa’ . Kalau ingin memahami apa yang telah di ketahui siswa dan dapat memonitor perkembangan prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa maka faktor pemahaman siswa harus menjadi faktor perhatian guru.
    Tugas guru dengan demikian adalah memahami fakto-faktor instrinik yang ada dalam diri siswa. Dengan demikian, menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan kondusif, bukan semata tugas guru. Pada paradima behavioristik, tugas meciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif adalah tugas guru. Guru harus bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktifistik, siswa  juga memiliki potensi intrinsik dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
    Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran di pandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa yang dilakukan di tempat dimana siswa sebagai partisipan. Perspektif ini menekankan pada proses pembelajaran kolaburatif, sehingga proses pembelajarannya dilakukan bersama, siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkungannya disertai dengan proses refleksi diri. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan konstruktifisik menegaskan bahwa sumber balajar bukan hanya ber sumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan dan orang-orang di sekitarnya.
    Paradigma konstruktivisme mengembagkan inisiatif yang kreatifitasnya individu dan kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran. Sementara dalam paradigma behavioristik, memberi kesempatan sedikit saja bagi individu dan muncuknya kreatifitas siswa secara perorangan.
    Paradigma kontruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa. Proses strategis yang dilakukan mulai cara pemikiran yang deduktif dan digabung dengan pemikiran induktif. Ada dua jenis pendidikan kontruktivisme yaitu :
  1. Kontruktivisme Psikologi
    Dalam hal ini pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan identitasnya sendiri selama proses pembelajaran.
  2. Kontruktivisme Sosial
    Dalam hal ini pendidikan difokuskan kepada peran faktor sosial dan budaya dalam mengembangkan pembelajaran. Interaksi sosial ini yang dapat membentuk perkembangan kognisi. Interaksi sosial dengan demikian merupakan kunci dalam proses pembelajaran.
    Selebihnya paradigma kontruktivistik seperti dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney dapat dilihat dari cara menyampaikan materi, metodologi, motivasi dan perumusan tujuan dan cara evaluasi sebagai berikut :
  1. Alat menyampaikan materi
  1. Penyampaian materi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pilihan yang dilakukan oleh siswa tentang proyek, aktivitas atau apa yang dikerjakan.
  2. Pembelajaran merupakan proses menghubungkan materi dengan pengalaman yang menjadi minat siswa
  3. Siswa menentukan sendiri dalam mengatur materi dan waktu
  4. Menyediakan banyak pilihan bahan pembelajaran yang menarik.
  1. Aktivitas dan metodologi
  1. Aktivitas pembelajaran dan metodologi dilakukan dengan memperhatikan kepribadian siswa
  2. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terpadu dan nyata dan relevan dengan minat siswa
  3. Menekankan pada proses pembelajaran daripada materi pembelajaran
  4. Bukan hanya meningkatkan skill tetapi pemikiran dan pemahaman siswa
  1. Motivasi dan tujuan
  1. Motivasi, kepuasan dan pemuhan diri datang dari siswa
  2. Pembelajaran bertujuan mendorong pengembangan kehidupan personal dan sosial, kemampuan komunikasi
  3. Mendorong tumbuhnya kemampuan belajar dengan sendiri dan tanggung jawab
  4. Menumbuhkan sikap kepribadian dan evaluasi berbasis evaluasi diri
  1. Evauasi
  1. Evaluasi dengan membuat daftar isian observasi
  2. Memilih sendiri tugas dan kegiatan yang memperkaya pembelajaran
  3. Kegiatan yang dilakukan berdasarkan kontrak yang dibuat
  4. Diskusi dengan guru, daftar isian skill, catatan harian
  5. Interaksi efektif dengan orang lebih dewasa

  1. Paradigma Sosial Kognitif Dalam Pendidikan
    Bredo (1997) mengembangkan paradigma ini dengan memanfaatkan psikologi fungsional dan filsafat pragmatisme dari karya James, Deway dan Mead. Ia juga mengaitka dengan nilai – nilai demokratik serta pemikiran behavioristik. Asumsi dasarnya dibangun berdasarkan prinsip bahwa individu selalu berdialog dengan lingkungannya.
    Dalam paradigma social kognitif, pembelajaran disetting sedemian rupa sehingga siswa bisa menggunakan sistem pengetahuan yang dimlikinya dan digunakan untuk berdialog dengan lingkungan. Pembelajaran atau pemikiran dilakukan melalui tindakan yang bisa mengubah situasi. Situasi yang berubah mengubah cara pembelajaran yang dilakukan siswa. Gagasan yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya terdapat bentuk – bentuk ragam budaya yang ada menjadi faktor penting.
    Dengan demikian pembelajaran dalam perspektif ini dapat diartikan sebagai aktifitas sosial dan kolaborasi. Didalamnya siswa mengembangkan pemikirannya bersama – sama. Kelompok kerja bukan soal pilihan tambahan. Pembelajaran dilakukan secara parsipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki individu namun sesuatu yang bisa dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma ini disebut dengan ‘distributed cognition’ pemikiran yang terbagikan.
    Selebihnya, paradigma sosial kognitif dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney sebagai berikut :
  1. Alat penyampaian materi
  1. Melakukan display model
  2. Berfokus pada siswa
  1. Aktivitas/metodologi
  1. Metode rinci, tahap demi tahap mengikuti model
  2. Penjelasan dan pemberian informasi verbal
  3. Bahan instruksional disusun secara teratur dan menarik
  4. Memberikan kesempatan siswa untuk memahami dan menyajikan kembali materi pembelajaran
  1. Motivasi dan tujuan
  1. Membuat instrumen reinforcement
  2. Menekan dorongan instrinsik maupun reinforcement
  3. Menguasai perilaku yang ditentukan dan mentransformasikannya dalam situasi baru
  1. Evaluasi
  1. Melakukan evaluasi formative secara terus menerus dan memberi respon terhadap umpan balik secara langsung
  2. Mereproduksi pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentuk perilaku
  3. Menggunakan skill yang diperlukan dalam situasi yang sama maupun yang baru melalui transformasi
    Didalam praktik di kelas, selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang menurut Krause ada tiga strategi :
  1. Mendorong pembelajaran terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa
    Pengalaman, pengetahuan, dan minat siswa harus menjadi titik awal guru mengemas pembelajaran di kelas. Dengan demikian pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Oleh karena latar belakang pengetahuan dan minat mereka beragam, maka guru sangat dianjurkan untuk belajar tentang multikultur.
  2. Memberikan kesempatan siswa belajar bekerja sama
    Kerjasaman adalah kunci dimata kontruksionis. Strategi pembelajarannya dengan demikian harus didesain dalam bentuk pembelajaran kelompok sehingga siswa memiliki kesempatan memperoleh pengalaman bekerja sama, berbagi ide dan belajar satu sama lainnya.
  3. Bantu siswa baru mengembangkan keahliannya
    Pembelajaran merupakan perspektif kontruksionis, harus bisa membantu siswa baru mengembangkan keahlihan dalam bidang ilmu tertentu sehingga mereka bisa mandiri, dan mengatur sendiri kegiatan belajar mereka.
  1. Macam-macam Paradigma Pendidikan
  1. Paradigma pendidikan konservatif
    Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dalam mencairkan konflik dan kontradiksi.
  2. Paradigma Pendidikan Liberal
    Golongan kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi seperti membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer dan laboratorium yang lebih canggih, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio antara murid dan guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, ‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya. Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
    Kaum Liberal dan Konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non-formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini.
  3. Paradigma pendidikan Radikal
    Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika paradigma konservatif bertujuan menjaga status quo (keadaan sebagaimana adanya) dan paradigma liberal digagas untuk melakukan perubahan, maka paradigma kritis menghendaki adanya perubahan struktur secara fundamental, terutama dalam politik dan ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka, kelas dalam perspektif gender dapat tercermin dalam dunia pendidikan. Paham demikian bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikandianggap terlepas dari persoalan gender yang ada dalam masyarakat.
    Dalam perspektif kritis-radikalistik, urusan pendidikan adalah melakukaan refleksi kritis, dari the dominant ideologi ke arah transformsi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan stuktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju system sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan system sosial baru yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis guna terciptanya transformasi sosial. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena system dan struktur yang tidak adil.


    BAB III
    PENUTUP
  1. Kesimpulan
  1. Paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut. Dan juga dalam pendidikan terdapat sejumlah paradigma berfikir. Paradigma behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif yang memiliki rpengaruh dalam pendidikan.
  2. Paradigma behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam pendidikan dapat dijelaskan :
  1. Paradigma behavioristik menekankan faktor eksternal sebagai penentu efektifitas pembelajaran. Strategi pembelajaran difokuskan kepada upaya menyediakan faktor eksternal yang positif dan kondusif untuk mencapai tujuan pembelajaran
  2. Paradigma kontruktivistik yang menegaskan pembelajaran hanya akan efektif jika ada dorongan instrinsik dari siswa. Dan strategi pembelajarannya difokuskan pada aktifitas dan inisiatif siswa.
  3. Paradigma sosial kognitif merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa individu atau siswa dengan sistem pengetahuan yang dimilikinya selalu berinteraksi dengan struktur atau lingkungan sekitarnya. Strategi pembelajaran dengan demikian lebih difokuskan kepada dialog individu dengan dunia atau struktur disekitarnya.
  1. Macam-macam paradigma pendidikan :
  1. Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan.
  2. Paradigma liberal merupakan suatu proses pendidikan yang selalu berusaha untukmenyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi.
  3. Paradigma radikal merupakan arena perjuangan politik yang menghendaki adanyaperubahan struktur secara fundamental, terutama dalam politik dan ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fathoni, Pengantar Sosiologi Pendidikan, diktat
Farid Anfasa Moeloek, dkk, Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, (Jakarta:BSNP,2010), ver-01
Joel Arthur Barker, Paradigma Upaya Menemukan Masa Depan. (Batam:Interajsar,1999)
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta:Kanisius,1997)
UU RI Nomor 20 Tahun 2003, Sisdiknas, (Jakarta:Depag RI,2006)
Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar